Jumat, 29 Juni 2018

Berilmu Tapi Tak Beradab, Belajar dari Petani Tua


Sengaja saya angkat kalimat di atas sebagai judul karena memang banyak sekali saya perhatikan di sekeliling bahkan pada diri saya akan hal itu. Saya mengaku berilmu dalam sebuah bidang, sebut saja petani, tetapi saya masih menggurui petani tua yang sudah makan asam garam dalam hal pertanian. Mungkin cara kita berbeda, dia dengan caranya sangat nyaman dan mendapat kepuasan bukan berarti kita memaksa sang petani tua dengan cara bertani modern yang kita ketahui.

Itu adalah sebuah permisalan sederhana Petani tua dengan Petani pemula. Sama halnya kita menasehati orang yang sudah berumahtangga sedangkan kita masih menjomblo (kasihan deh lho). Tidak akan diterima nasihat kita, walaupun pengetahuan tentang sesuatu itu kita lebih banyak mengetahuinya. Akan tidak masuk logika jika kita menasehati orang yang sudah banyak makan garam tentang sesuatu, sedangkan kita belum sampai pada posisi mereka.

Dari kejadian itu tak sedikit anak muda dengan congkaknya tak menghormati yang lebih tua. Tak sedikit generasi muda yang sarjana, guru, ustazd dan profesi yang lainnya tak menghargai yang tua, yang sudah melewati berbagai kemungkinan dalam bidangnya. Bahkan terkadang banyak diantara kita seperti menggurui seorang yang pantasnya kita anggap guru dalam bidang itu.

Hai teman, saudaraku dan diriku! Yang terpenting dalam melakukan sesuatu itu adalah adab. Bukankah tak akan berkah segala sesuatu jika kita melakukannya tanpa adab? Dalam ajaran agama Islam saja setiap tingkah laku ada adabnya? Sampe urusan tempat tidur dan segala aktivitas di dalamnya ada adab dan caranya? Terus kenapa kita begitu ringan mulut menasehati orang yang seharusnya menjadi penasehat kita. Terus kenapa kita begitu mudah menggurui orang yang pantas menjadi guru kita?

Ini adalah teguran telak buat saya pribadi. Sebelumnya saya sering sekali merasa tinggi dan tak mau mendengar orang yang berselisih paham dengan saya. Saya tak mau mengalah, saya terus berargumen dengan pemahaman yang saya miliki. Ternyata dengan semakin bertambahnya umur ini saya sadar, titik dimana saya memiliki sifat itu adalah titik yang tak ada apa-apanya dibanding seorang petani tua  dengan ketekunannya. 

Petani yang rajin merawat tanamannya, bahkan rela menahan dahaga seharian untuk melihat tumbuh kembang tanamannya. Sedangkan saya yang hanya tahu ilmu bertani sedikit saja sudah mengguruinya. Inilah permisalan adab yang belum saya pahami ketika itu. Tak memikirkan perasaan petani tua yang dengan seluruh waktu dan tenaganya merawat tanaman hingga panen. Sedangkan saya hanya mengetahui teori bercocok tanam saja sudah seperti bertani bertahun-tahun.

Maafkan kami pak Petani, kami hanya belum tahu proses apa yang sudah engkau lewati hingga bertahun-tahun merawat tanamanmu, dengan penuh ikhlas dan harap akan hasil yang baik. Sampai penglihatanmu memerah oleh silaunya sinar sang surya. Sampai kulitmu kering kecoklatan oleh panasnya mentari. Sampai kulitmu mengerut oleh waktu. Sampai badanmu menggigil oleh air dan angin.

Mulai sekarang ajari kami tentang adab, ajari kami tentang sebuah keikhlasan, ajari kami tentang pengharapan, ajari kami tentang nasehat tanpa melukai perasaan.

Terimakasih untuk pelajaran hari ini, saya pribadi akan faham salah bukan salah faham.

#TulisanSambilNgego