![]() |
Shoot by Me @upangman |
Pariwisata dalam sudut pandang
seorang awan seperti saya tidak jauh berbeda dengan ekosistem kebun dimana di
dalamnya ada kumbang dan bunga. Kebun saya lihat sebagai wilayah wisata, bunga
saya anggap destinasi di wilayah tersebut dan kumbang pemilik atau investor
yang mengelola destinasi. Ekosistem ini tidak akan berjalan dengan baik dan
benar jika salah satu dari ekosistem ini tidak menjalankan tugasnya dengan
baik. Kebun butuh bunga untuk memberikan hasil yang bisa dinikmati si pemilik.
Begitu juga dengan bunga yang membutuhkan kumbang untuk membantu
perkembangannya. Jika masing-masing mereka melaksanakan fungsinya dengan baik,
maka pemilik kebun akan mendapatkan keuntungan yang diharapkan.
Dalam pembukaan kebun baru
dan mencoba peruntungan dengan bercocok tanam oleh pemilik tentunya hal pertama
yang dilakukan adalah memberi perhatian penuh. Perhatian ini tentunya akan
menguras tenaga dan pastinya banyak alat serta prasarana lain yang harus disiapkan.
Sebagai pemilik kebun yang ingin mendapatkan hasil dengan bercocok tanam saya akan
membajak lahan, menyiapkan bibit dan tentunya pupuk untuk merawat tanaman.
Bayangkan jika salah satu hal tersebut saya tidak lakukan, pastinya tidak akan
berjalan apa yang saya lakukan karena kurangnya syarat dan rukun dalam bercocok
tanam. Setelah semuanya lengkap, saya akan membutuhkan yang namanya faktor alam
seperti cuaca dan mahluk tuhan bernama kumbang atau serangga yang akan membantu
proses penyerbukan tanaman saya.
Melihat dengan perspektif
ini membuat saya tidak mungkin untuk mencegah serangga atau kumbang yang bisa
membantu proses perkembangan tanaman saya. Dengan menyadari semua ini saya
tidak mungkin membunuh serangga ataupun melindungi tanaman saya dari serangga
atau kumbang yang membantu proses perkembangan usaha saya. Kembali ke sudut normal
mengenai wisata dan hiruk pikuk yang ada di dalamnya. Sebuah wilayah yang masih
dalam proses mengembangkan potensi wisata sangat disayangkan mendapat berbagai
kritik dan hujatan dari mereka yang katanya para pemilik atau pribumi.
Destinasi yang bermunculan seolah-olah menjadi kemelut bagi mereka yang
menyebut diri para pemerhati. Semua kasus mereka munculkan ke permukaan ketika
melihat gembar-gembor pemerintah membangun wisata sebagai jalan untuk
pemerataan ekonomi. Sebagai seorang awam tentunya saya harus melihat dari
banyak sudut pandang, namun niatan ingin menurunkan pamor wisata sangat akan
saya hindari. Masih banyak cara untuk memberikan rasa keadilan kepada warga
disekitar destinasi.
Sekelompok orang seperti ini
saya melihat sebagai sekumpulan pupuk yang ditaruh bukan pada tempatnya.
Pastinya kita akan tahu apa jadinya jika pupuk tidak ditaruh pada tempatnya.
Tidak akan memberikan manfaat, bahkan bisa merugikan sang pemilik kebun karena
pupuknya mubazir.
Kebun indah dengan bunga
semerbak mewangi dimana-dimana yang diharapkan oleh pemilik. Dan semuanya kita
butuhkan kumbang yang bisa membantu proses penyerbukan dan perkembangan bunga. Kita
tidak mengaharapkan adanya hama dan pupuk yang terbuang sia-sia. Kita ingin
semuanya berjalan sesuai fungsi masing-masing. Jika ada yang menyimpang, tetap
masih ada yang akan menjalankan tugasnya dengan baik. Sebagai seorang pemilik
kebun kita hanya bertugas menjaga, merawat dan memperhatikan bunga ataupun
tanaman yang kita kelola. Perkara jualan kita serahkan kepada pedagang dan
bagian yang mengurusinya. Seorang petani yang sukses adalah dia yang mengelola
kebun sawahnya dengan baik dan bijaksana serta memberikan ruang kerjasama yang
seluas-luasnya dengan pedagang.
Entah tulisan apa yang saya
buat ini, namun saya berharap dengan tulisan ini bisa memberikan pandangan
berbeda ke diri saya pribadi dalam menyikapi semua kasus pariwisata yang ada di
Gumi Paer tercinta. Menuju wisata yang sukses dan bermanfaat sangat dibutuhkan Simbiosis Mutualisme, yaitu kerjasama
yang saling menguntungkan antar pelaku wisata. Dalam proses berkembang kita
tidak butuh hama, melainkan kita butuh unsur hara dan pupuk untuk tetap menjaga
keberlangsungan wisata ini. Saya ingin sekali menyampaikan kepada mereka yang
memposisikan diri mereka sebagai pemerhati yang katanya korban pariwisata. Dari
sudut pandang mana mereka melihat adanya korban dan pelaku? Siapa yang korban
dan siapa yang pelaku? Apakah dalam pikiran mereka korban wisata itu mereka
yang mengais-ngais rezeki dengan alat seadanya di wilayah destinasi? Ataukah mereka
yang menjual lahannya dikarenakan ketidaktahuan akan persaingan? Dan siapa yang
akan mengaku sebagai pelaku? Apakah mereka yang ingin membangun ekonomi sekitar
atau kelompoknya? Apakah mereka yang hanya corat-coret tinta hitam di kertas putih
itu? Siapa korban siapa pelaku?
Ketika destinasi digenjot
promosinya dan segelintir kelompok menaikkan kejelekkannya? Siapa yang berbuat
benar dan siapa yang salah? Ketika para muda-mudi bersemangat menggunakan media
sosial mereka memperkenalkan destinasi unggulan daerahnya, namun ada sebagian
kelompok lainnya ingin hal yang berbeda dengan mengangkat kekurangan dan kasus
di destinasi yang ada. Dari semua itu siapa yang akan membantu masyarakat?
Tidakkah terlintas dalam
pikiran kita semua, bahwa ketika destinasi terkenal dan kita merawat menjaganya
dengan bagus pasti akan menguntungkan masyarakatnya? Dalam sudut pandang
sebagai orang awam saya melihat tidak ada yang namanya korban pariwisata. Yang
ada hanya mereka yang berpikir cepat dan berpikir kedepan. Cepat dalam
bertindak dan berpikir untuk masa akan datang. Bukan mereka yang menjual lahan
karena faktor perut. Lahan mereka jual semua, ketika menjadi tempat yang bagus
mereka posisikan diri sebagai korban? Ketika tempat ramai dan dikelola pihak
lain mereka berebut ingin mengais rezeki ditempat itu dan menjadikan diri
mereka korban? Melihat sandiwara dan carut marut ini saya senyum sinis dengan
mereka yang katanya korban pariwisata. Memang saya tidak berada di posisi yang
saat ini mereka rasakan. Namun jika saya berada di posisi mereka maka saya akan
menempatkan diri sebagai pemilik atau pengelola bukan penjual.
Dari tulisan ini saya
berharap kita semua bisa melihat dari berbagai sudut pandang. Tidak elok
menghujat sesuatu hanya karena melihat dari sudut yang berbeda. Dan saya
berharap kita tidak hanya melempar sampah sembarangan, namun bisa ikut serta
dalam mencegah penyebaran sampah. Baik itu sampah pikiran, sampah opini, sampah
adudomba.
Sekian tulisan saya yang
tidak jelas ini, semoga pesannya tersampai pada anda yang membacanya. Bahwa
wisata adalah kewajiban kita bersama untuk peduli menjaga perkembangannya.
Tempatkan diri sebagai seorang pemilik dan pengelola jangan jadi penjual di
Gumi Paer ini.
#diariku #wisata